Home » » Adab

Adab

Written By faizin on Minggu, 20 Oktober 2013 | 04.44



Daftar Isi

 
Bab I
Adab

Definisi Adab
Dapat disimpulkan  bahwa
  اَلأَدَبُ
atau sopan santun dalam Islam adalah terkumpulnya berbagai macam kebaikan pada diri seorang hamba, sesuai dengan al-Kitab dan as Sunnah, baik lahir  maupun bathin. Jika seorang muslim bercita-cita untuk menjadi pribadi yang memiliki adab maka hendaklah ia senantiasa berpegang kepada al Kitab dan as-Sunnah, baik dalam Aqidah, Manhaj (cara beragama), ibadah, akhlak, perbuatan, perkataan, maupun sifat sifatnya secara lahir maupun bathin.

Kedudukan
Imam Ibnul Qayyim v berkata,
“Adab itu secara keseluruhan adalah agama itu sendiri”
Maka kedudukan adab pun setinggi kedududkan agama bagi seseorang.
(Madaarijus Saalikiin I/391)

 Diriwayatkan dari al-Hasan bin 'Arafah, ia mengatakan bahwa ia mendengar Ibnul Mubarak berkata,
 "Barangsiapa meremehkan adab, maka ia akan disiksa dengan sulitnya melakukan amalan-amalan Sunnah. Barangsiapa meremehkan amalan-amalan Sunnah, maka ia akan disiksa dengan sulitnya melakukan yang Fardhu. Dan barangsiapa meremehkan yang fardhu, maka ia akan disiksa dengan sulitnya ma'rifat (mengenal Allah Ta'ala)."

Urgensi
Merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak bagi masyarakat kaum muslimin untuk bersikap dan berperilaku yangmemiliki adab sopan santun.
Dan ini harus dipraktekkan oleh masing-masing individu di antara mereka.
Ada beberapa alasan yangmendasari hal tersebut, diantaranya:
1. Apabila suatu masyarakat sudah dapat dikatakan memelihara adab sopan santun di antara mereka, maka akan tercipta ketenangan dan keamanan (ketenteraman). Hak-hak mereka akan terjamin dan dihormati, serta kedudukan mereka pun akan terpelihara. Lalu lahirlah kedamaian di antara mereka.
Adab sopan santun itu akan mencabut rasa dendam kesumat di hati manusia. Jika mereka sudah memiliki adab-adab yerugsesuai dengan aturan syari'at, maka jiwa-jiwa mereka akan bening, kemudian akan diliputi dengan rasa
persaudaraan, kecintaan, dan kelemah lembutan dalam bermasyarakat.

Adab itu merupakan jalan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Seorang penuntut ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan keberkahannya tanpa dilandasi adab sopan santun. Kaum Salafush Shalih telah banyak memberikan peringatan kepada mereka yang menuntut ilmu tanpa adab kesopanan.
 Abun Nadhr al-Faqih berkata,
 "Aku mendengar al-Busyanji berkata, “Barangsiapa ingin mendapatkan ilmu dan pemahaman agama, namun tanpa dilandasi adab kesopanan, maka ia sungguh telah menceburkan diri ke dalam pendustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya."
(Siyaru A'laamin Nubalaa' (XIII/586)













Bab II
Adab Bertemu dan Berjabatan Tangan
1. Ketika seorang Muslim berjumpa dengan Muslim yang lainnya, maka mulailah dengan Salam.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa
Rasulullah n bersabda:
حَقُّ المُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌ.......إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ
"Hak seorang Muslim atas Muslim (yang lainnya) ada enam...
1)            Jika engkau berjumpa dengan seorang Muslim, maka ucapkanlah salam atasnya."
(HR. Muslim no. 5778)

2. Dianjurkan untuk menyertai Salam dengan berjabatan tangan.
Jabat tangan ini dilakukan tanpa membungkukkan badan, tanpa pelukan, dan tanpa cium tangan.
Diriwayatkan dari al-Bara', ia mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:
مَ مِنْ مُسلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا ٌَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
"Tidaklah dua orang Muslim bertemu, lalu berjabatan tangan, kecuali akan diampuni dosa keduanya sebelum keduanya berpisah."
(HR Abu dawud no. 5214)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah n,
 "Apabila salah seorang dari kami berjumpa dengan saudara atau shahabatnya, maka bolehkah ia membungkukkan badan kepada saudaranya itu?" Maka Nabi n menjawab, "Tidak." Laki-laki itu bertanya lagi, "Bolehkah
ia memeluk dan menciumnya?" Maka Rasulullah n menjawab, "Tidak." Laki-laki itu bertanya lagi, "Bolehkah aku memegang tangannya dan menjabat tangannya?" Maka Rasulullah n menjawab, "Ya."
(HR. At-Tirmidzi (no. 2947), ia berkata, "Hadits ini hasan.")

3. Tidak berjabatan tangan dengan wanita yang tidak halal baginya.
Ibnu Syihab mengatakan bahwa 'Urwah bin az-Zubair memberitakan kepadanya bahwa 'Aisyah c, berkata, "...Jika kaum mukminat itu telah berikrar dengan perkataan mereka (berbai'at), maka Rasulullah n bersabda kepada mereka:
انْطَلِقْنَ فَقَدْ بَايَعْتُكُنَّ
“Pergilah kalian, aku telah mengambil bai'at (janji setia) kalian”

Tidak, tangan Rasulullah n tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuanpun. Beliau n hanya mengambil bai'at dengan perkataan saja.
Demi Allah, Rasulullah tidak pernah mengambil bai'at dari wanita-wanita kecuali dengan apa yang Allah perintahkan, yakni beliau mengucapkan
perkataan:
(قَدْ بَايَعْتُكُنَّ)
“Sungguh, aku telah mengambil janji setia kalian kepada mereka.”
(HR. Al-Bukhari (no. 5288), Muslim (no. 4941)

Diriwayatkan dari Umaimah binti Ruqaiqah, bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنَي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ.....
"Sesungguhnya aku tidak berjabatan tangan dengan wanita..."
(Shahih Ibni Hibban X/417 no 4553)

4. Tidak memandang kepada wanita yang tidak halal baginya.
Allah Ta'ala berfirman:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya... "
(An-Nuur 24. 30)

Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas z, ia berkata, "Al-Fadhl bin'Abbas dibonceng oleh Nabi n. Lalu datanglah seorang wanita dari Bani Khats-'am untuk meminta fatwa kepada Nabi. Al-Fadhl melihat wanita itu, dan wanita itupun melihatnya.
Maka Rasulullah n memalingkan wajah al-Fadhl ke arah yang lain..."
 (Shahiib lbni Hibban (IX/301) (no. 3989), al-Bukhari (no.1513), Muslim (no. 3315)

5. Wanita pun tidak boleh memandang kepada laki-laki yang bukan mahramnya.
Allah Ta'ala berfirman:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
"Katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangannya....”
 (An-Nuur 24. 31)

Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa Nabhan telah bercerita kepadariya, bahwa Ummu Salamah mengatakan, ketika ia bersama Rasulullah n danMaimunah, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum. 'Waktu itu sudah turun perintah berhijab. Maka Rasulullah n bersabda:
اِحْتَجِبَا مِنْهُ
"Berhijablah kalian berdua darinya (dari Ibnu Ummi Maktum)."

Maka keduanya (Ummu Salamah dan Maimunah) berkata,
 "'Wahai Rasulullah, bukankah ia seorang yang buta? Dia tidak akan melihat dan mengenali kami."
Maka Rasulullah n menjawab:
أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
"Tapi, bukankah kalian berdua melihatnya”
(Shahiib lbni Hibban (XII/389) (no. 5576)

6. Tidak ber-khalwah (berduaan) dengan wanita yang tidak halal baginya.
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia berkata,
"Aku mendengar Nabi n bersabda:
لاَيَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ُّو مَحْرَمٍ، وَلاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَذِيْ مَحْرَمٍ
"Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, kecuali wanita itu disertai mahramnya. Demikian juga tidak boleh seorang wanita bepergian jauh terkecuali beserta mahramnya"
Lalu seorang laki-laki berdiri seraya berkata:
"Wahai Rasulullah, saya ditetapkan untuk mengikuti perang anu dan anu, sementara isteri saya hendak berangkat haji."
Maka Risulullah n bersabda:
اِنْطََلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
"Berangkatlah haji bersama isterimu."
(HR.Muslim (no. 3336), Shahiih lbni Hibban [X/73) (no. 3757)

7. Dibolehkan seseorang untuk berdiri dalam rangka memuliakan orang yang datang kepadanya.
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri z, ia berkata,
 "Ketika Banu Quraizhah menyerahkan urusan mereka kepada keputusan dari Sa'd bin Mu'ad z, maka Rasulullah n mengutus utusan kepadanya agar Sa'd datang kepada Rasulullah n. Maka Sa'd datang menaiki keledai. Setelah
ia mendekat, maka Rasulullah n bersabda:
قُوْمُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ
"Berdirilah kalian untuk menghormati pemimpin kalian."
(HR. Al-Bukhari no. 3043)

Diriwayatkan dari Ummul Mukminin 'Aisyah c, bahwa apabila Fathimah datang kepada Nabi n, maka beliau n berdiri menyambutnya, lalu memegang tangannya, menciumnya, dan mendudukkannya di tempat duduk beliau n. Demikian pula apabila Rasulullah n datang kepada Fathimah, maka Fathimah berdiri menyambut beliau n, memegang tangan beliau n, IaIu mencium
beliau n dan mendudukkan beliau di tempat duduknya (Fathimah).
(HR. Abu Dawud (no. 219), Shahih)

8. Telah dijelaskan bahwa dibolehkan seseorang untuk berdiri dalam rangka memuliakan orang yang datang kepadanya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri z di atas. Ini tidak bertentangan dengan riwayat dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan.
Ia mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَسْتَجِمَّ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ
"Barangsiapa menyukai orang-orang berkumpul dan berdiri untuknya, maka ia masuk Neraka."

Anas bin Malik z berkata, "Tidak ada seorang pun yang lebih dicintai oleh para Shahabat, selain Rasulullah n. Akan tetapi ketika para Shahabat melihat Rasulullah n, maka mereka tidak berdiri untuk beliau. Hal ini karena para Shahabat mengetahui, bahwa beliau n tidak senang kalau orang-orang berdiri untuknya."

Abu Ja'far berkata, "Hadits Anas ini menunjukkan bahwa Shahabat-Shahabat Rasulullah n tidak berdiri untuk Rasulullah n dikarenakan mereka mengetahui, bahwa Rasulullah n tidak senang diperlakukan seperli itu. Dalam artii:
Seandainya Rasulullah tidak demikian, niscaya para Shahabat akan berdiri untuk beliau. Bisa jadi sikap Rasulullah n yang demikian itu timbul dari ketawadhu'an beliau, bukan dikarenakan haramnya berdiri untuk menghormati seseorang. Bagaimana mungkin kita simpulkan bahwa hal itu haram, sedangkan beliau sendiri pernah memerintahkan para Shahabat untuk berdiri menghormati Sa'd bin Mu'adz. Dan di hadapan beliau n, Thalhah bin 'Ubaidillah pernah berdiri menghormati Ka'b bin Malik untuk memberikan selamat atas turunnya ayat yang menyatakan diterimanya taubat Ka'b bin Malik. Dan pada
saat itu Rasulullah n tidak melarang perbuatan Thalhah tersebut.
(Syarhu Musykilil Aataar (Ill/154) (no. 1125)

9. Tidak membungkuk dan tidak sujud ketika berjumpa.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi n: "Wahai Rasulullah, apabila seseorang di antara kami berjumpa dengan saudara atau temannya, apakah ia boleh membungkukkan badannya?" Maka Rasulullah n menjawab: "Tidak." Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, "Bolehkah ia memeluk dan menciumnya?" Maka Rasulullah
n menjawab: "Tidak." Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, "Bolehkah ia memegang tangannya dan menjabat tangannya?" Maka Rasulullah n
menjawab, “Ya, boleh."
(HR. At-Tirmidzi (no. 2947). Ia berkata, "Hadits ini hasan”)

10. Bermuka cerah ketika berjumpa.
Diriwayatkan dari Abu Dzarr z, ia mengatakan bahwa Nabi n, bersabda kepadanya:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْةٍ طَلْقٍ
“Jangan sekali-kali meremehkan kebaikan sedikitpun, walaupun berupa wajah yang cerah manakala berjumpa dengan saudaramu.”
(HR. Muslim (no. 6857)




























Bab III
Adab Mengucapkan Salam
A.          Fungsi Salam dalam membangun karakteristik masyarakat Kaum Muslimin
Dunia internasional pada masa kini membahas tentang as-Salaam (perdamaian, kesejahteraan, keselamalg) sebagai sesuaru cita-cita kemanusiaan dan puncak harapan manusia. Padahal Islam, sejak 14 abad yang lalu telah memberikan pengagungan dan pemuliaan terhadap as-Salaam ini. Kemudian Islam telah mempraktekkan dan menyebarkannya (ke seluruh dunia), setelah ditanamkan terlebih dahulu dalam hati setiap Muslim, lalu diucapkannya dengan lisan, dan dibuktikan oleh setiap Muslim dalam setiap amal perbuatannya.

Allah Ta'ala menjadikan as Salaam sebagai salah satu nama dari Nama-Nama Allah yang indah. Dan Allah Ta'ala memerintahkan umatnya untuk berdo'a kepadaNya dengan menggunakan Nama as-Salam tersebut.
(As-Salam (Yang Maha Pemberi Keselamatan, Kesejahteraan dan Kedamaian) merupakan salah satu Asmaa'ul Husnaa (Nama-Nama Allah yang indah), di mana kita diperintahkan untuk berdo'a dengan Nama-Nama tersebut, sebagaimana dalam firman-NYa:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا 
“Hanya milik Allah asmaa'ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu.... "
 (Al-A'raaf 7. 180)

Dia l berfirman:
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ [٥٩:٢٣]
Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
 (Al-Hasyr 59. 23)

Salam adalah penghormatan terhadap nenek moyang manusia, sebagai hadiah dari Malaikat kepada Adam r. Diriwayatkan dari Abu Hurairah z, ia mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:

"Allah Ta'ala menciptakan Adam atas rupa dan tingginya, yakni 60 hasta.
(Maksud perkataan "atas rupa dan tingginya," maksudnya atas rupa dan tinggi Nabi Adam r. Jadi, beliau langsung diciptakan Allah Ta'ala dalam rupa dan tingginya, tidak mengalami proses yang bertahap seperti anak keturunannya. Sedangkan anak keturunannya diciptakan Allah secara bertahap, mulai dari mani, 'alaqah, mudhghah, dan seterusnya hingga janin, bayi, anak-anak, lalu barulah dewasa, dan mencapai tinggi yang konstan)
 Setelah tercipta, maka Allah berfirman, 'Pergilah, dan ucapkan salam kepada mereka, yakni para Malaikat yang sedang duduk. Lalu dengarkanlah jawaban mereka. Maka itulah yang kelak akan menjadi salam penghormatanmu dan anak keturunanmu." Nabi bersabda, "Kemudian ia (Adam r) pergi dan berkata, 'Assalaamu'alaikum (Semoga kesejahteraan atas kalian). 'Maka para Malaikat menjawab (dengan yangserupa) ditambah kalimat,'Warahmatullaah
(dan juga rahmat Allah)."' Kemudian Nabi n bersabda, "Maka setiap orang yang masuk Surga memiliki postur Nabi Adam r dengan tinggi 60 hasta. Lalu (di dunia), tinggi manusia itu selalu berkurang hingga sekarang"
(HR. Al-Bukhari (no. 3326), Muslim (no. 7342), Ibnu Hibban (XIV/33) (no. 6162)

Demikian pula, ketika Malaikat datang kepada Ibrahim r untuk memberikan kabar gembira mengenai kelahiran Ishaq, maka mereka mengawali perkataan dengan penghormatan Salam. Hal ini diabadikan Allah Ta'ala dalam
firman-Nya:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ [٥١:٢٤]
Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?
إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا ۖ قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ [٥١:٢٥]
(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal".
(Adz-Dzaariyaat 51. 24-25)

Kemudian: Islam adalah agama as-Salaam (penuh kedamaian dan kesejahteraan), sebagaimana firman Allah Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ [٢:٢٠٨]
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.
(Al-Baqarah 2. 208)

Pelajaran dari ayat tersebut:
1. Masyarakat yang melaksanakan ajaran syari'at Islam secara keseluruhan (total), akan diliputi kedamaian dan kesejahteraan. Sejahtera di bumi, dan sejahtera di langit. Sebabnya adalah: Allah Ta'ala Yang Maha Pemberi Keselamatan akan melindungi seorang muslim yang melaksanakan syari'at-Nya) hingga ia aman dan nyaman, selamat dan beruntung, disayangi
manakala ia lemah, dan diampuni manakala ia bertaubat....

2. Masuk Islam secara kaaffah (menyeluruh) mengandung makna menyerahkan diri-diri mereka kepada Allah secara total. Tidak ada satu hal pun yang tidak dikembalikan kepada Allah Ta'ala. Sehingga diri-diri merekapun
sepenuhnya diserahkan kepada Allah, tidak kepada diri-diri mereka sendiri. Mereka total dalam ketaatan kepada Allah, total dalam menjunjung tinggi syari'at-Nya, dan total dalam penyerahan yang sempurna kepada-Nya.

3. Dalam ayat tersebut terdapat pengertian bahwa: Manakala Allah menyeru orang-orang yang beriman untuk masuk ke dalam as-Silmi secara total... maka Allah Ta'ala sekaligus memperingatkan orang-orang beriman agar tidak
mengikuti langkah-langkah syaithan. Hal ini menunjukkan bahwahanya ada dua pilihan bagi mereka, yakni:
1) Masuk Islam secara total, atau:
2) Mengikuti langkahJangkah syaithan.
4. Bagi seorang Muslim, ddak ada jalan alternative selain masuk Islam secara total. Manakala menyimpang dari jalan ini, maka ia secara otomatis akan memasuki jalan-jalan dan langkah-langkah syaithan. Di antara kedua pilihan tersebut tidak ada jalantengah, tidak ada manhaj (metode, cara, perjalanan) yang abu-abu, diantara keduanya, atau setengah-setengah.

B.           Keutamaan-keutamaaan Salam
1.                  Kalimat Salam ini diulang-ulang oleh seorang Muslim dalam setiap shalatnya berkali-kali.
Dan bahkan ia mengakhiri shalatnya dengan kalimat Salam.

2. Kalimat ini merupakan perkara terbaik dalam Islam.
 Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Amr z, bahwa adaseorang laki-laki yang
 bertanya kepada Rasulullah n: "Islam yang mana yang terbaik?" Maka Rasulullah n menjawab:

"Engkau memberi makanan, dan engkau mengucapkan Salam, baik kepada orang yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal."
(HR. Al-Bukhari (no. 112), Muslim (no. 169), Shahiih Ibni Hibban (II/258) (no. 505)

3. Salam merupakan penyebab yang membawa kepada kecintaan, keimanan, dan masuk Surga.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah z ia mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:

"Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, kalian tidak akan masuk Surga kecuali kalian beriman. Dan kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian suatu perkara yang jika kalian lakukan, maka kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah Salam di antara kalian."
(HR. Muslim (no. 203), Shahiih lbni Hibban (I/472) (no. 236)

4. Lailatul'Qadr -malam turunnya al-Qur-an sebagai petunjuk dan rahmat bagi seluruh alam- disifati oleh Allah Ta'ala dengan salaam (kesejahteraan), sebagaimana firman Allah Ta'ala:
سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ
"Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar."
(Al-Qadr 98. 5)

5. Allah Ta'ala memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk memperlakukan lawan yang menentangnya dengan ucapan Salam.
فَاصْفَحْ عَنْهُمْ وَقُلْ سَلَامٌ ۚ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ [٤٣:٨٩]
Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: "Salam (selamat tinggal)". Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk).
(Az-Zukhruf 43. 89)

6. Salam telah Allah tetapkan sebagai penghormatan terhadap penduduk Surga ketika mereka bertemu Rabb mereka, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
تَحِيَّتُهُمْ يَوْمَ يَلْقَوْنَهُ سَلَامٌ ۚ وَأَعَدَّ لَهُمْ أَجْرًا كَرِيمًا [٣٣:٤٤]
Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: Salam; dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.
 (Al-Ahzaab 33. 44)

Pada hari Kiamat, mereka akan diberi ucapan selamat dan penghormatan dengan as-Salaam. Dalam masalah ini ada tiga pendapat seputar siapa
yang membacakan salam kepada mereka.
Pendapat pertama:
 mengatakan bahwa yang mengucapkan salam adalah Allah Ta'ala ketika
mereka menjumpai-Nya, sebagaimana dalam ayat lain.
Allah Ta'ala berfirman:
سَلَامٌ قَوْلًا مِّن رَّبٍّ رَّحِيمٍ [٣٦:٥٨]
(Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.
 (Yaasiin 36. 58)

Pendapat kedua:
 menyebutkan bahwa yang mengucapkan salam adalah para Malaikat yang
mulia, yakni ketika ahli Surga memasuki Surga, sebagaimana firman Allah Ta'ala

وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ [١٣:٢٣]
sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;
سَلَامٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ ۚ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ [١٣:٢٤]
(sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
 (Ar-Ra'd 13. 23-24)

Pendapat ketiga:
 menyatakan bahwa yang mengucapkan salam adalah mereka sendiri kepada satu sama lainnya, di kala mereka bertemu dengan Rabb mereka di negeri Akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ
Do'a mereka di dalamnya ialah: "Subhanakallahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam" (sejahtera dari segala bencana).”
(Yunus 10. 10)

C.         Persyaratan Salam dan kecintaaan Salafush Shalih terhadap Islam
Islam telah mensyari'atkan Salam sebagai penghormatan sesama muslim. Islam mendorong umatnya untuk menyebarkan Salam dan mengulang-ulangnya sebanyak mungkin ketika berjumpa satu sama lain. Apakah ia sendirian atau
bersama yang lainnya. Baik mereka saling mengenal ataupun tidak. Hal ini sebagaimana hadits yang telah disebutkan terdahulu.
(HR. Al-Bukhari (no. 112), Muslim (no. 159), Shahiih Ibni Hibban (Il/258) (no. 505)

Allah l telah menjadikan syari'at ini sebagai salah satu jalan menuju Surga, sebagaimana diriwayatkan dari 'Abdullah bin Salam z, ia berkata, "Sabda beliau n yang pertama kali kudengar adalah:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ، وَصِلُوا الأَرْحَامَ  وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
''Wahai manusia! Sebarkan Salam, berikan makanan, hubungkan tali kekeluar gaan (silaturrahim), dan shalatlah kalian di saat manusia tidur, maka
kalian akan masuk Surga dengan selamat.”
(Sunan ad-Daarimii (no. 2632)

Kecintaan Salafush Shalih dalam menyebarkan Salam tercermin dalam kisah yang unik berikut ini. Diriwayatkan dari Ishaq bin Abi Thalhah, bahwa ath-Thufail bin Ubay bin Ka'ab pernah bercerita kepadanya bahwa ia pernah datang kepada 'Abdullah bin'Umar z. Di pagi hari ia berangkat ke pasar bersama beliau. Ath-Thufail bin Ubay bin Ka'ab berkata, "Kami pun pergi ke pasar di pagi hari. Maka tidaklah 'Abdullah bin'Umar z, melewati tukang-tukang loak,
orang-orang yang sedang bertransaksi jual beli, atau orang-orang miskin, kecuali beliau memberi salam kepada mereka. Dan tidaklah beliau berjumpa dengan seorangpun kecuali beliau mengucapkan Salam kepadanya."
Ath-Thufail bin Ubay bin Ka'ab berkata,
"Pada suatu hari aku mendatangi'Abdullah bin 'Umar z. Beliau mengajakku untuk mengikutinya ke pasar. Maka aku berkata kepada beliau, “Apa yang akan Anda lakukan di pasar? Anda tidak bertransaksi jual beli, dan tidak pula Anda bertanya tentang barang dagangan atau harganya. DanAnda pun tidak pernah duduk-duduk di pasar. Aku berkata kepada beliau, 'Mari kita duduk saja di sini untuk ngobrol. Maka Abdullah bin 'Umar z berkata kepadaku, ''Wahai Abu Bathn (gendut) -ath-Thufail adalah seorang yang gendut- tujuan kita ke pasar di pagi hari adalah agar kita menyebarkan salam kepada setiap orang yang kita jumpai”
(HR. Imam Malik dalam al-Muanththa' (no. 1764). Ini hadits shahih)

D. Adab-adab Salam
Manakala kita menyadari pentingnya Salam dalam Islam, maka setiap Muslim harus memahami adab-adab mengucapkan Salam, mengetahui hukum-hukumnya, tata cara menyampaikannya, dan adab-adab mulia lainnya, baik yang termasuk hal-hal pokok maupun hal-hal lain yang bersangkutan dengannya, yang terkadang luput dari perhatian. Berikut ini adab-adab yang harus kita perhatikan:

1. Memegang teguh shighat (lafal atau redaksi) Salam yang datang dari Rasulullah n, yakni:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
 "Semoga kesejahteraan dilimpahkan atas kalian."
Dianjurkan untuk menambahnya dengan lafazh:
 وَرَحْمَةُ اللَّّهِ وَبَرَكَاتُهُ
"Dan rahmat Allah serta keberkahan dari-Nya."

2.      Segera menjawab salam dengan:
وَ عَلَيْكُمْ اَلسَّلاَمُ
"Dan juga semoga kesejahteraan dilimpahkan oleh Allah atas kalian."

3.      Yang paling utama dalam menjawab salam adalah dengan menambahkan jawabannya dengan Iafazh:
وَرَحْمَةُ اللَّّهِ وَبَرَكَاتُهُ
"Dan rahmat Allah serta keberkahan dari-Nya."

4. Sekalipun mengucapkan Salam kepada orang lain itu Sunnah, akan tetapi menjawabnya adalah wajib, dan ia berdosa apabila ditinggalkan.

Allah Ta'ala berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا [٤:٨٦]
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.
 (An-Nisaa' 4. 86)

Menjawab salam dengan yang semisal adalah mafruudhah (wajib), sedangkan menambahkan dengan jawaban yang lebih utama adalah nanduub
(Sunnah). Allah Ta'ala memperhitungkan setiap amal, dan Dia mengawasi kalian dalam hal menjaga hubungan baik antara sesama kalian dengan
ucapan salam. Maka Allah Ta'ala akan memperhitungkan (pahala) perbuatan kalian itu.

Diriwayatkan dari'Imran bin Hushain z, ia berkata, "Seorang laki-laki datang kepada Nabi n seraya mengucapkan:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
Maka beliau n menjawab salam tersebut. Lalu setelah lakiJaki itu
duduk, beliau n bersabda:
عَشْرٌ "Sepuluh."
Kemudian datang laki-laki yang lain kepada beliau n
seraya mengucapkan:
وَرَحْمَةُ اللَّّهِ  اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ

Maka beliau n menjawab Salam tersebut. Lalu setelah laki-laki itu duduk, beliau n, bersabda
عِشْرُونَ"Duapuluh."
Kemudian datang laki-laki yang lain kepada beliau n seraya mengucapkan:
وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ  اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
 Maka beliau n, menjawab Salam tersebut. Lalu setelah laki-laki itu duduk,
beliau n, bersabda:
ثَلاَثُوْنَ "Tigapuluh."
(HR. Abu Dawud (no. 5197), Shahih)

Diriwayatkan dari 'Aisyah c, ia berkata,
"Rasulullah n bersabda:
'Ini Jibril, mengucapkan Salam atasmu.'
هَذَا جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكَ السَّلاَمَ
Maka aku berkata,
وَرَحْمَةُ اللَّّهِ وَبَرَكَاتُهُ  اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
Semoga kesejahteraan atasnya, dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya.
Anda melihat apa yang tidak kami lihat, hai Rasulullah."
(HR. Al-Bukhari (no. 3217), Muslim (no. 6457), Shahiih Ibni Hibban (XVI/11) (no. 7092)

5. Sekalipun kita mengucapkan Salam (atau menjawab salam) terhadap seorang muslim, namun gunakanlah kata ganti jamak, bukan tunggal.

6. Ketika mengucapkan salam, maka tekadkan di dalam hati bahwa maksud kita adalah menjunjung tinggi perintah Allah Ta'aladan Rasul-Nya. Juga niatkan untuk mengikat serta menjalin kecintaan, menimbulkan rasa aman dan ketenangan di antara kaum muslimin.

Diriwayatkan dari al-Bara' bin'Azib z, ia berkata,
 "Nabi n memerintahkan kami tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara." Lalu ia menyebutkan:
1. Mengunjungi orang sakit,
2. Mengikuti jenazah,
3. Menjawab orang yang bersin ketika ia mengucapkan AlhamduIillah,
4. Menjawab Salam,
5. Menolong orang yang teraniaya,
6. Memenuhi undangan,
7. Membenarkan orang yang sumpah."
(HR al Bukhari no 2445)

7. Apabila mendatangi seseorang di rumahnya, atau menjumpai seseorang di perjalanan, maka mulailah dengan mengucapkan Salam, sebelum perkataan-perkataan yanglainnya. Dan akhirilah pertemuan atau perkataan (obrolan)
kita dengan ucapan salam pula.
 Allah Ta'ala berfirmani*
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ [٢٤:٢٧]
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.
 (An-Nuur 24. 27)
 Allah Ta'aIa mendidik para hamba-hamba-Nya untuk tidak memasuki rumah orang lain tanpa minta izin terlebih dahulu, lalu mengucapkan Salam. Hendaklah meminta izin tidak lebih dari 3 kali. Jika tidak diizinkan maka harus pergi. Inilah yang terbaik untuknya dan untuk penghuni rumah. Hal ini dikarenakan rumah adalah tempat tinggi yang berfungsi untuk melindungi manusia hingga jiwa mereka tenang, aurat dan kehormatannya terjaga. maka rumah itu harus aman dan terjaga, tidak boleh seorangpun memasukinya kecuali dengan izin dan se pengetahuan penghuninya, dan juga di saat-saat
yang dikehendaki oleh penghuninya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah z, ia mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda:
إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُقُوْمَ فَليُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ الأُوْلَى بَأَ حَقَّ مَنَ الآخِرَةِ
“Jika salah seorang dari kalian mendatangi suatu majelis, maka ucapkanlah salam. Dan jika ia hendak meninggalkan majelis itu, maka hendaklah ia
mengucapkan salam. Orang yang pertama tidak lebih berhak daripada orang yangterakhir."
(HR. Abu Dawud (no. 5210), shahih lighairihi. Syaikh Al-Albani berkata hadits ini hasan shahih)

8. Apabila seseorang masuk ke rumahnya sendiri, atau hendak keluar, maka ucapkanlah Salam kepada keluarganya.

Diriwayatkan dari Sa'id bin al-Musayyab, ia mengatakan bahwa Anas bin Malik berkata,
"Rasulullah n berkata kepadaku:
يَا بُنَيَّ إِذَا دَخَلْتَ عَلَى أَهْلِكَ فَسَلِّمْ يَكُوْنُ بَرَكَةً عَلَيْكَ وَعَاَى أَهٍلِ بَيْتِكَ
"Wahai anakku, jika engkau masuk kepada keluargamu, maka ucapkanlah salam, karena hal itu akan menjadi keberkahan atasmu dan keluargamu”
(HR. At-Tirmidzi (no.2698), ia mengatakan, "Hadits ini hasan gharib")

9. Hendaklah seseorang tidak sungkan untuk memulai mengucapkan salam kepada orang lain, tidak menunggu mereka lebih dahulu mengucapkan salam kepadanya.
 Diriwayatkan dari Abu Umamah ia mengatakan bahwa Rasulullah ffi pernah ditanya: "Dua orang laki-laki berjumpa, maka siapakah di antara keduanya yang memulai Salam?" Maka Rasulullah n bersabda:
أَوْلاَهُمَا بِاللَّهِ
 (Orang yang memulai salam) berarti paling utama di sisi Allah''
(HR at Timidzi no 2694 ia berkata: Hadits ini hasan)

10. Seorangmuslim dianjurkan unruk mengulang-ulang salamnya kepada saudaranya semuslim ketika bertemu kembali, sekalipun waktu perpisahan mereka belum lama berselang.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah z, ia berkata,
 "Apabila salah seorang dari kalian berjumpa dengan saudaranya, maka hendaklah ia mengucapkan Salam kepadanya. Jika ada pohon yaig menghalangi mereka berdua, atau ada dinding yang memisahkan mereka (untuk sementara), atau ada batu yang menghalanginya, kemudian ia bertemu kembali, maka hendaklah ia mengucapkan salam kembali kepadanya”
(HR Abu Dawud no 5200 Shahih, Mauquf dan Marfu)

11. Apabila seseorang mendatangi suatu kaum dengan jama'ah yang banyak, maka dianjurkan untuk memberi Salam kepada mereka tiga kali, agar sampai kepada mereka.
Diriwayatkan dari Anas, dari Nabi n, bahwa beliau n apabila berbicara, maka beliau mengulanginya tiga kali, hingga dapat difahami oleh mereka. Dan apabila beliau datang kepada suatu kaum, maka beliau mengucapkan Salam kepada mereka tiga kali."
(HR al Bukhari no. 95)

12. Hendaklah orang yang berjalan, mengucapkan salam kepada orang yang berdiri (diam). Dan orang yang berkendaraan hendaklah mengucapkan salam kepada orang yang berjalan kaki. Orang yang lebih muda hendaklah mengucapkan salam kepada orang yang lebih tua. Dan orang yang sendirian hendaklah mengucapkan salam kepada orang yang lebih banyak. Dan jama'ah (sekelompok orang) yang sedikit hendaklah memberi salam kepada jama'ah yang lebih banyak. Demikianlah seterusnya.
 Diriwayatkan dari Tsabit maula 'Abdirrahman bin Zaid, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata, "Rasulullah n bersabda:
يُسَاِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى المَاشِيْ، وَالْمَاشِيْ عَلَى الْقَاعِدِ، وَالقَلِيْلُ عَلَى الكَثِيْرِ
Orang yang berkendaraan hendaklah mengucapkan Salam kepada yang berjalan kaki. Orang yang berjalan kaki hendaklah mengucapkan Salam kepada orang yang duduk. Dan jama’ah (sekelompok orang) yang sedikit jumlahnya hendaklah mengucapkan Salam kepada jama'ah yang lebih
banyak."
(Muttafaq’alaih)

Diriwayatkan dari Zaidbin Aslam dalam hadits yang ia marfu'kan kepada Nabi n, beIiau bersabda:
يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلَى الْمَاشِيْ، وَالْمَاشِيْ عَلَى الٌَاعِدِ، وَالقَلِيْلُ عَلَى الْكَشِيْرِ، وَالصََّغِيْرُ عَلَى الكَبِيْرِ، وَإَِّا مَرَّ القَوْمُ فَسَلَّمَ وَاحِدٌ مِنْهُمْ أَجْزَأَ عَنْهُمْ، وَإِذَا رَدَّ عَنْ الآخَرِيْنَ وَاحِدٌ أَجْزَاَ عَنْهُمْ
"Orang yang berkendaraan hendaklah mengucapkan Salam kepada orang yang berjalan. Orang yang berjalan hendaklah mengucapkan Salam kepada orang yang duduk. Jama'ah (sekelompok orang) yang sedikit hendaklah mengucapkan Salam kepada jama'ah yang lebih banyak. Orang yang lebih muda hendaklah mengucapkan Salam kepada orang yang lebih tua. Jika suatu kaum lewat, lalu salah seorang dari mereka mengucapkan Salam, maka hal itu sudah cukup untuk mewakili mereka. Dan jika salah seorang dari suatu kaum menjawab Salam dari kaum yang lain, maka hal itu sudah cukup untuk mewakili kaumnya."
(Syu’abul Iimaan (XI/268 no. 8526) Shahih mursal)

13. Jika suatu jama'ah (sekelompok orang) menghadap seseorang, maka dianggap cukup apabila salah seorang dartjama'ah mengucapkan Salam kepadanya sebagai wakil dari mereka.
Sebaliknya, apabila seseorang menghadap kepada sekelompok orang, lalu ia mengucapkan Salam kepada mereka, maka dianggap cukup apabila salah seorang dari jama'ah tersebut menjawab Salam sebagai wakil dari mereka.

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib z, Abu Dawud berkata, "Al-Hasan bin Ali me-rafa'-kan hadits ini (kepada Nabi n)- bahwa beliau n bersabda:
يُجْزِئُ عَنِ الءجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ وَيُجْزِئُ عَنِ الْجُلُوسِ أَنْيَرُدَّ أَحَدُهُمْ
"Jika suatu jama'ah melewati (orang-orang yang duduk), maka cukuplah salah seorang dari mereka mengucapkan Salam. Dan bagi mereka yang duduk, cukuplah salah seorang di antara mereka untuk menjawab salam tersebut”
(HR. Abu Dawud no 5212 Shahih)

14. Dianjurkan untuk merendahkan suara ketika mengucapkan Salam di malam hari. Demikian juga ketika mengucapkan salam kepada suatu kaum sedangkan di antara mereka ada yang sedang tidur.

Hal ini seperti yang diriwayatkan dari al-Miqdad, dalam hadits yang panjang, riwayat Muslim

15. Seseorang dianjurkan untuk mengucapkan Salam kepada dirinya sendiri ketika memasuki rumahnya yang kosong, dengan ucapan:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وعَلَى، عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِيْنَ
“Semoga kesejahteraan terlimpah atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih."

Allah Ta'ala berfirman:
فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kalian memberi Salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, Salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya)
bagi kalian, agar kalian memahaminya.
(An-Nuur 24. 61)

16. Apabila kalian memasuki rumah-rumah yang berpenghuni atau yang tidak berpenghuni, maka hendaklah satu sama lain saling mengucapkan Salam dengan tahiyyatuI IsIam (penghormatan Islam), yakni ucapan:
وَرَحْمَةُ اللَّّهِ وَبَرَكَاتُهُ  اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
 “Semoga kesejahteraan atas kalian, dan rahmat Allah serra keberkahan-Nya,"
atauketika tidak ada seorang pun, maka ia mengucapkan:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَالِحِيْنَ
Semoga kesejahteraan terlimpah atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shalih."

- Inilah tahiyyah (penghormatan) yang disyari'atkan oleh Allah Ta'ala.
 Inilah penghormatan yang penuh keberkahan, serta menumbuhkan cinta kasih dan persahabatan. Inilah tahiyyah yang baik dan disenangi setiap orang yang mendengarnya, yang dijelaskan Allah Ta'ala agar difahami dan dipraktekkan.

17. Disunnahkan untuk mengucapkan Salam kepada anak-anak kecil ketika berjumpa dengan mereka. Hal ini akan menimbulkan kecintaan dalam diri mereka, menguatkan pribadi mereka, dan dapat membuka jalan bagi kita untuk menasehati dan mengajari mereka. Hikmah lainnya adalah dapat menghilangkan kesombongan pada diri orang yang memberikan Salam kepada anak-anak tersebut, sebagaimana pula manakala dianjurkan untuk memberi salam kepada orang fakir dan miskin.

Diriwayatkan dari Anas z, bahwa ia melewati anak-anak, lalu Anas mengucapkan salam kepada mereka. Kemudian ia mengatakan bahwa
Rasulullah n apabila melewati anak-anak maka beliau mengucapkan Salam kepada mereka.
(HR. Al-Bukhari (no. 6247), Syu'abul limaan (XI/254) (no. 8503)

Hadits senada dari Anas bin Malik z diriwayatkan juga oleh Imam Muslim.
(HR. Muslim (no. 5791)

18. Dianjurkan untuk menyertai salam dengan berjabatan tangan, sebagaimana telah diterangkan pada bab II.

19. Dianjurkan untuk menampakkan muka yang cerah, sikap yang lemah lembut, dan menciptakan pertemuan yanghangat ketika menyampaikan Salam atau meniawabnya. Dalilnya telah diterangkan pada bab II.

20. Dimakruhkan mengucapkan Salam kepada orang yang sedang buang air kecil. Demikian juga kepada orang yang sedang tidur, yang sedang shalat, sedang wudhu' yang sedang membaca al-Qur-an, Yang sedang sibuk berdzikir atau berdo'a, karena dapat mengganggu ibadah mereka, manakala harus menjawab Salam. Demikian pula dimakruhkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang adzan, sedang berkhutbah atau sedang mengajar.

2l. Tidak mengucapkan Salam kepada orang orang kafir.
Diriwayathan dari Abu Hurairah c bahwa Rasulullah n bersabda:
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُوْدَ وَلاَ النَّصَارَى بِالْسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِيْ طَرِيْقٍ فَاضَطَرُّوْهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
"Janganlah kalian memulai Salam kepada Yahudi dan Nashrani. Apabila kalian berjumpa dengan salah seorang dari mereka di suatu jalan, maka desaklah ia oleh kalian ke jalannya yang paling sempit."
(HR Muslim no 5789)

Diriwayatkan dari Hisyam bin Zaid bin Anas bin Malik, ia berkata,
"Saya pernah mendengar Anas bin Malik berkata, “Seorang Yahudi melewati Nabi n seraya mengatakan:
 وَعَلَيْكَ السَّامُ
"Kebinasaan atasmu."
 Maka Rasulullah n menjawab
وَعَلَيْكَ
"Dan (kebinasaan pula) atasmu."
Kemudian Rasulullah n bersabda:
أَتَدْرُوْنَ مَا يَقُوْلُ قَالَ السَّامُ عَلَيْكَ
'Tahukah kalian apa yang ia katakan? Ia berkata:
“Kebinasaan atasmu.'"

Maka para Sahabat berkata, "'$flahai RasululIah, bolehkah kami membunuhnya?"

Maka Rasulullah n menjawab:
لاَ، إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الكِتَابِ فَقُوْلُوْا وَعَلَيْكُمْ
 “Jangan. Jika ahlul kitab mengucapkan Salam atas kalian, maka jawablah: Wa'alaikum (dan atas kalian juga)."
(HR Bukhari nio 6926)
22. Jika melewati sekelompok orang yang terdiri dari orang-orang Muslim dan orang-orang kafir, maka ucapkanlah Salam dengan tujuan memberi Salam kepada orang-orang muslim.

Diriwayatkan dari 'Urwah, bahwa Usamah bin Zaid telah mengabarkan kepadanya bahwa Nabi n, pernah mengendarai keledai, ….dan ia
membonceng di belakang Nabi n... Ketika Rasulullah n, melewati sekelompok orang yang terdiri dari orang-orang Muslim dan orang-orang musyrik penyembah berhala dan kalangan yahudi…… Maka Nabi n mengucapkan Salam kepada mereka (dengan maksud memberi Salam kepada orang-orang Muslim)
(Diringkas dari satu hadits yang panjang yang diriwayatkan Imam Muslim (no. 4760)

23. Boleh mengucapkan perkataan lain setelah Salam atau setelah menjawab Salam, yang merupakan satu bentuk penghormatan.
Di antaranya terdapat dalam hadits Abu Hamzah yang panjang, bahwa Rasulullah n mengucapkan:
مَرحَبًا بِللْقَومِ أُوْ بِالوَفْدِ غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى
"Selamat datang kepada kaum atau utusannya, tanpa kehinaan dan penyesalan."
(HR. Al-Bukhari (no. 53), Shahiih lbni Hibban (I/395) (no. 172)

Diriwayatkan dari Abun Nadhr maula, Umar bin 'Ubaidillah, bahwa Abu Murrah maula Ummi Hani' binti Abi Thalib mengabarkan kepadanya bahwa ia pernah mendengar Ummu Hani' mengatakan bahwa Rasulullah n bersabda kepadanya:
مَرْحَبًا بِأُمٍّ هَانِئٍ
“Selamat datang kepada Ummu Hani."
(HR. Al-Bukhari (no. 357) dan Muslim (no.1702)

24. Dibolehkan mengucapkan salam kepada anak-anak kecil dan para wanita ketika aman dari fitnah.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik z bahwa ia melewati anak-anak kecil, lalu ia mengucapkan salam kepada mereka, lalu ia berkata, "Nabi n
melakukan hal seperti ini."
(HR. Al-Bukhari (no. 6247)

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Husain, yang ia dengar dari Syahr bin Hausyab, ia berkata,
"Asmal binti Yazid memberitahukan kepadaku bahwa Nabi pernah melewati kami, kaum Perempuan, lalu beliau mengucapkan Salam kepada kami.”
(HR. Abu Dawud (no. 5206), shahih lighairihi)

25. Tidak bbleh mengawali Salam dengan ucapan:
عَلَيْكَ السَّلاَمُ
 "Atasmu kesejahteraan”

 Diriwayatkan dari Abu Jurary al-Hujaimi, ia berkata, "Aku datang kepada Nabi n. Lalu aku berkata:
عَلَيْكَ السَّلاَمُ  يَا رَسُوْلَ اللَّهِ
“Atasmu kesejahteraan, Wahai Rasulullah"

لاَ تَقُل عَلَيْكَ السَّلاَمُ فَإِنَّ  عَلَيْكَ السَّلاَمُ تَحِيَّةُ
“Janganlah engkau mengatakan “alaikas salaam”, karena “alaikas salaam” itu adalah penghormatan untuk orang-orang mati."
(HR Abu Dawud no 5211. Shahih)



































Bab IV

Tanya Jawab dan Fatwa-Fatwa Seputar Salam dan Jabat Tangan

1.   Sering terjadi di negeri kita, murid laki-laki berjabatan tangan dan bahkan mencium tangan ibu guru. Atau sebaliknya, seorang murid wanita berjabatan tangan atau bahkan mencium tangan bapak guru.
Apa hukum perbuatan tersebut?
Jawab:
 Rasulullah n tidak pernah menyentuh tangan wanita.
Diriwayatkan dari Umaimah binti Ruqaiqah, bahwa Rasulullah n bersabda:
إِنِّيْ لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
"Sesungguhnya aku tidak berjabatan tangan dengan wanita."
(Shahiih lbni Hibban (X/417) (no. 4553), Shahih)

Dalam Silsilah asb-Sbabiibah (no. 2804, asy-SyaamiIah) dimuat hadits:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ أَصَابَ مِنَ الزِّنَا لاَ مَحَالَةَ، فَالْعَيْنُ زِنَاهَا النَّظَرُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ، وَالنَّفْسُ تَهْوِيْ وَتَحَدَّثُ، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ أَوْيُكَذِبُهُ الفَرجُ
"Setiap anak Adam terkena zina, tidak bisa tidak. Maka mata zinanya dengan memandang (yang terlarang). Tangan, zinanya dengan menyentuh.
Hawa nafsu berkeinginan dan berangan-angan. Kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakannya."

Mengomentari hadits ini, Syaikh al-Albani berkata dalam as-Silsilah ash- Shahiihah (VI/720):
"Dalam hadits ini terdapat dalil yangjelas mengenai haramnya berjabatan tangan dengan wanita yang bukan mahram, seperti juga haram memandangnya, dan hal ini termasuk sebagian dari macam-macam zina...."
Ketentuan di atas adalah berlaku umum untuk laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Apakah itu guru dengan murid, atau yang lainnya.

2. Bagaimana hukum mencium tangan?
Jawab:
 Dalam as-Silsilah asb-Shahiihah (I/159), asy-Syaamilah, Syaikh al-Albani v berkata,
"Dalam hal mencium tangan, maka terdapat hadits-hadits dan atsar yang banyak, yang semuanya shahih dari Nabi n. Maka kami berpendapat
tentang bolehnya mencium tangan seorang alim, jika memenuhi syarat sebagai berikut:
Pertama:
 Tidak menjadi kebiasaan, sehingga seorang yang alim (kyai, ustadz, tokoh agama) menyodorkan tangannya kepada Para muridnya, dan murid-muridnya pun terbiasa ngalap berkah dengan cium tangan tersebut. Hal ini karena, Rasulullah sendiri, meskipun pernah tangan beliau dicium, akan tetapi hal itu jarang-jarang terjadi.
Jika demikian keadaannya, maka cium tangan kepada orang alim ini tidak boleh dijadikan suatu kebiasaan yang dilakukan terus-menerus, sebagaimana yang diketahui dari kaidah-kaidah fiqih.

Kedua:
Jangan sampai cium tangan tersebut menjadikan seorang alim meniadi sombong kepada yang lainnya, dan merasa bangga diri, sebagaimana yang terjadi pada sebagian para ustadz di masa sekarang.

Ketiga:
 Cium tangan tersebut jangan sampai menghilangkan Sunnah yang maklum seperti berjabatan tangan. Karena jabat tangan itu disyari'atkan dengan perbuatan Nabi n. Dan jabat tangan tersebut menjadi penyebab gugurnya dosa-dosa dua orang yang berjabatan tangan, sebagaimana yang diriwayatkan lebih dari satu hadits. Maka jabat tangan ini tidak boleh digeser atau ditinggalkan, hanya karena ingin melakukan suaru perkara (cium tangan) yang status hukumnya hanya sekedar dibolehkan saja.

3. Telah diterangkan bahwa hukum membungkukkan badan ketika bertemu dengan seseorang (biasanya yang memiliki keutamaan dalam ilmu atau kedudukan) adalah makruh.
Bagaimanakah dengan saudara-saudara Nabi Yusuf yang bahkan sujud kepadanya?
Jawab:
 Jangan tenipu oleh orang yang berdalil dengan firman Allah Ta'ala:
وَرَفَعَ أَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوا لَهُ سُجَّدًا 
"Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf,"
(Yusuf 12. 100)

Ibnu Katsir v berkata,
 "Semacam ini (sujud penghormatan, bukan sujud ibadah) disyari'atkan pada umat-umat terdahulu, akan tetapi telah di- hapus dalam syari'at agama kita. Mu'adz berkata, "Aku datang ke negeri Syam, lalu aku melihat
penduduknya bersujud kepada uskup-uskup dan ulama mereka. Dan engkau, wahai Rasulullah, lebih berhak apabila orang-orang bersujud kepadamu." Maka Rasulullah n bersabda:
لاَ، لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَنْ يَسْجُدَ لَبَشَرٍ لأَمَرْتُ المَرْ أَةَ أَنْ ـَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا
"Tidak, seandainya boleh aku memerintahkan manusia untuk sujud kepada manusia lainnya, niscaya akan aku perintahkan seorang isteri untuk sujud kepada suaminya, dikarenakan besarnya hak suami atas isterinya."
(HR. Ahmad dalam al-Musnad (V/227)

4. Bolehkah seseorang merangkul atau mencium saudara atau temannya sambil berjabatan tangan?

Jawab:
 Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah n, "Apabila salah seorang dari kami berjumpa dengan saudara atau shahabatnya maka bolehkah ia membungkukkan
badan kepada saudaranya itu?" Maka Nabi n menjawab, "Tidak." Laki-laki itu bertanya lagi,
"Bolehkah ia memeluk dan menciumnya?" Maka Nabi n menjawab, "Tidak." Laki-laki itu bertanya lagi, "Bolehkah aku memegang rangannya dan menjabat tangannya?" Maka Nabi n menjawab, "Ya."
(HR at Timidzi no 2947, ia berkata:”Haditis ini Hasan”)

An-Nawawi berkata dalam al-Adzkaar (/275, asy-Syaamilah), "Tidak mengapa mencium dan merangkul ketika datang dari suatu safar (perjalanan jauh). Dan makruh jika dilakukan pada selainnya. Yang demikian itu berlaku untuk selain
anak muda yang tampan. Adapun berpelukan dan berciuman dengan anak muda yang tampan, maka hukumnya haram, baik itu ketika datang dari
safar atau di waktu-waktu yang lainnya..."
5. Apa hukum berjabatan tangan setelah salam dari shalat fardhu, sebelum berdzikir dengan dzikir yangma'-tsur ba'da shalat fardhu?
Jawab:
 Syaikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdillah bin Baz v berkata
Pada dasarnya, disyari'atkan berjabatan tangan ketika bertemu dengan sesama Muslim. Nabi n menjabat tangan para Shahabat z ketika beliau
bertemu dengan mereka. Dan para Sahabatpun saling meniabat tangan mereka apabila mereka bertemu. Anas z dan asy-Sya'bi z berkata:
“Para Shahabat Nabi n saling berjabatan tangan apabila mereka bertemu, dan saling merangkul apabila mereka datang dari sebuah perjalanan"'
Diriwayatkan dari Nabi n bahwa beliau n bersabda:
يمَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَتَلاَ قِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ تَحَاتَتْ عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا يَتَحَاتُّ عَنِ الشَّجَرَةِ وَرَقُهَا
"Tidaklah dua orang Muslim saling bertemu dan berjabatan tangan kecuali dosa-dosa keduanya akan berguguran, sebagaimana bergugurannya
daun dari Pohon."
(Hadits senada dishahihkan oleh al-Albani dalam silsilah ash-shabiihah (no. 525 dan 526) dengan lafazh:
"Tidaklah dua orang muslim saling bertemu dan berjabatan tangan kecuali diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah.")

Disunnahkan berjabatan tangan ketika bertemu di masjid dan di barisan shalat (sebelum Shalat). Jika belum berjabatan tangan sebelum shalat, maka berjabatanlah setelah shalat, untuk menghidupkan Sunnah yang agung ini. Juga untuk meneguhkan kecintaan dan menghilangkan permusuhan dan kebencian.

Jika ia belum berjabatan tangan sebelum shalat fardhu, maka disyari'atkan baginya untuk berjabat tangan setelah shalat, yakni setelah membaca
dzikir ba'da shalat yang disyari'atkan. Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang bersege ra bersalaman begitu selesai shalat fardhu, yakni
setelah Salam kedua (tidak berdzikir terlebih dahulu), maka saya ridak mengetahui dasarnya sama sekali. Bahkan yang jelas hal itu dimakruhkan,
mengingat tidak ada dalil atasnya. Selain itu, yang disyari'atkan pada saat itu adalah bersegera. Untuk membaca dzikir-dzikir yang disyari'aitkan, yang
biasa dibaca Nabi n aisetiap ba'da shalat fardhu setelah salam.

Adapun ketika shalat Sunnah, maka disyari'atkan bersalaman setelah salam, jika memang belum bersalaman sebelumnya. Adapun jika sebelumnya telah bersalaman, maka hal itu sudah cukup, tidak perlu bersalaman lagi setelahnya.

6. Bagaimana hukumnya meninggalkan jabat tangan ketika di daerah tersebut terjadi wabah penyakit yangdipastikan dapat terjangkit akibat sentuhan tangan?
Jawab:
 Menolak bahayadan menghindari hal-hal yang memadharatkan jiwa adalah wajib, berdasarkan firman Allah Ta'ala:
وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ 
“Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kali'an sendiri ke dalam kebinasaan"
(Al-Baqarah 2. 195)

Dan setiap sarana ke arah tersebut wajib pula, termasuk menghindari berjabatan tangan... Karena terkadang tangan menjadi media pemindahan
penyakit.
 (Lihat: Fataawaa al-Azhaar (VII/240, asy-Syaamilah)

7. Bagaimana hukum mengucapkan Salam kepada lain jenis?
Jawab:
 Imam Muslim meriwayatkan bahwa ummu Hani' binti Abi Thalib datang kepada Nabi n dihari pembebasan kota Makkah. Saat itu beliau n sedang mandi ditutupi oleh Fathimah. Lalu Ummu Hani' mengucapkan Salam
kepada beliau n.
Dari'Atha' al-Khurasani, Ibnul Jauzi meriwayatkan sabda Nabi n:
لَيْسَ لِلنِّسَاءِ سَلاَمٌ وَلاَ عَلَيْهِنَّ سَلاَمٌ
"'Wanita tidak boleh mengucapkan Salam dan tidak boleh diucapkan Salam atas mereka."
(Hadits ini didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani v dalam Dha'ihful Jaami' (no. 4920)

Berdasarkan hadits ini sekelompok ulama melarang Salam kepada lain jenis secara mutlak. Akan tetapi mayoritas ulama berkata, Jika dikhawatirkan fitnah maka tidak boleh mengucapkan Salam atau menjawab Salam... Adapun jika tidak dikhawatirkan fitnah maka tidak mengapa, seperti mengucapkan Salam kepada nenek-nenek dan wanita yangtermasuk mahram.
 Ini berdasarkan hadits Ummu Hani' yangtelah disebutkan.

Hal di atas adalah hukum mengucapkan Salam antara seorang laki-laki kepada seorang wanita, atau sebaliknya. Adapun mengucapkan Salam kepada sekelompok wanita, maka hal ini boleh, bahkan ada yangmengatakan dianjurkan. Dan menjawabnya pun diwajibkan.
Hal ini karena aman dari fitnah...

Adapun sekelompok laki-laki mengucapkan Salam kepada seorang perempuan, maka hal ini terlarang, kecuali apabila aman dari fitnah, seperti
wanita tersebut nenek-nenek. Dalilnya adalah:
Para Shahabat, di perjalanan sepulang shalat jum'at, mereka bertemu dengan seorang nenek-nenek, maka mereka mengucapkan Salam kepadanya, dan
wanita itu menyediakan makanan. Hadits ini diriwayatkan Imam al-Bukhari.

Kebolehan yang dimaksud adalah semata-mata mengucapkan Salam, bukan berjabatan tangan. Adapun berjabatan tangan maka hal itu terlarang.
Hal ini karena Rasulullah n tidak menjabat tangan para wanita yang berbai'at kepada beliau, padahal bai’at, itu lebih penting dari sekedar penghormatan
semata. Dan Rasulullah n menegaskan bahwa tangan dikatakan berzina dengan menyentuh wanita yang tidak halal baginya."
(Fataawaa al- Azhaar (X/181), asy-syaamilah)

8. Bolehkah berjabatan tangan setelah khatib naik mimbar di hari jum'at?
Apakah shalatnya, dan shalat orang yang dijabat tangannya batal?

Jawab:
 Jika imam Khatib sedang khutbah, maka jama’ah wajib menyimak dan mendengarkan khutbah.
 Nabi n bersabda:
إِذَا قَلْتَ لأِصَا حِبِكَ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ يَوْمَلجُمُعَةِ أَنْصِتْ، فَقَدْ لَغَوتَ
“Jika engkau berkata kepada temanmu, sedangkan imam sedang khutbah di hari jum'at: “Diamlah maka ia telah berbuat sia-sia."
 (Muttafaq alaih)

Adapun berjabatan tangan tanpa berkata-kata, maka hal itu tidak mengapa, seperti halnya melakukan isyarat saja.
 (Fataawaa. al-Lajnah ad- Daa-imah lil Buhuutsil 'Ilmiyyah wal lftaa(no. 10647)

9. Bagaimana cara bersalaman yang paling utama?
Jawab:
 Dalam Sunan at-Tirmidzi (X/30, asy- Syaam ilah) disebutkan:
"Diriwayatkan dari Anas bin Malik z, ia mengatakan bahwa Rasulullah apabila didatangi seseorang, dan ia menyalami beliau, maka beliau tidak melepaskan tangannya terlebih dulu, hingga orang yang menyalami tersebut lebih dulu melepaskannya. Demikian pula, beliau tidak memalingkan wajah dariwa1ahorang tersebut, hingga orang tersebut lebih dahulu memalingkan wajahnya. Dan beliau tidak pernah terlihat melonjorkan kakin ya dihadapan orang yang duduk bersama beliau."
(Tahqiq Syaikh al-Albani: Dha'if, kecuali kalimat yang menerangkan tentang tata cara berjabatan Nabi n, maka kalimat itutsabit (tetap). Lihat Shahiih wa Dha'iif at Tirmidzi (V /490),asy-Syaamilah)

10. Bagaimana cera menjawab Salam titipan?
Jawab:
 Menjawab titip Salam adalah dengan mengucapkan Salam kepada yang dititipi dan kepada yang titip Salam:
Diriwayatkan bahwa seseorang datang kepada Rasulullah n dan berkata, "Sesungguhnya bapakku membacakan Salam untuk Anda."
Maka Rasulullah n bersabda:
عَلَيْكَ السَّلاَمُ وَ عَلَى أَبْيْكَ السَّلاَمُ
"Semoga kesejahteraan atasmu dan atas bapakmu”
(Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih wa Dha'iif Abi Dawud (XI/132, asy-Syaamilah)



Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar